BRIN

Peneliti BRIN Mengungkap Masalah Dalam Pendidikan Di Indonesia

Sabtu, 14 Des 2024

Rangkaian kegiatan Refleksi Akhir Tahun, Pameran Infografis Hasil Riset, dan Monev Akhir Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) Tahun 2024 telah memasuki hari keempat pada Kamis, (12/12). Dalam kegiatan ini, diselenggarakan sebuah talkshow yang menarik dengan tema refleksi pendidikan Indonesia tahun 2024. Acara ini menghadirkan sejumlah peneliti dari Pusat Riset Pendidikan Badan Riset dan Inovasi Nasional, yang membahas berbagai isu yang dihadapi dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Syahrul Ramadhan, peneliti ahli madya dari Pusat Riset Pendidikan BRIN, menyampaikan materi mengenai refleksi pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) zonasi dalam upaya mencapai kesetaraan dan pemerataan pendidikan. Syahrul melakukan pemetaan terhadap akar masalah yang berkaitan dengan jalur zonasi, afirmasi, dan prestasi.

Ia menjelaskan beberapa permasalahan yang muncul pada jalur zonasi, antara lain Blank Spot, di mana distribusi sekolah tidak sejalan dengan sebaran permukiman. Selain itu, terdapat masalah terkait perpindahan Kartu Keluarga secara ilegal atau fiktif untuk dapat masuk ke dalam zonasi. Masalah lain yang dihadapi adalah munculnya sikap demotivasi, di mana terdapat persepsi bahwa dengan adanya zonasi, banyak peserta didik yang menjadi malas belajar karena tidak ada kompetisi untuk masuk ke sekolah negeri.

Permasalahan juga muncul dari jalur afirmasi, yang ditujukan bagi calon peserta didik baru dari keluarga kurang mampu dan penyandang disabilitas. Salah satu contohnya adalah pemalsuan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Sementara itu, pada jalur prestasi, terdapat isu mengenai perangkingan. Dijelaskan bahwa beberapa dinas meminta sekolah untuk melakukan perangkingan siswa sebagai langkah antisipasi terhadap jalur prestasi, yang bertentangan dengan prinsip Kurikulum Merdeka. Selain itu, terdapat masalah kecurangan, di mana sejumlah orang tua membuat sertifikat atau piagam palsu sebagai bukti prestasi anak. Beberapa sekolah swasta juga dilaporkan meningkatkan nilai prestasi siswa agar dapat diterima di sekolah negeri favorit.

Dari berbagai permasalahan yang ada, Syahrul melakukan Analisis Bibliometrik dan menyimpulkan bahwa terdapat keterbatasan kapasitas, kesenjangan dalam kondisi fasilitas sekolah, serta kurangnya sinkronisasi data dan rekomendasi kebijakan. Meskipun demikian, ia berpendapat bahwa "Kebijakan PPDB perlu diteruskan karena telah menunjukkan dampak positif, meskipun masih banyak tantangan dalam pelaksanaannya."

Ia menambahkan, "Dampak positif telah terlihat dalam peningkatan akses pendidikan yang setara bagi semua kelompok serta penurunan kesenjangan kualitas pendidikan. Banyak daerah telah mulai menerapkan PPDB sesuai dengan paradigma dan regulasi yang ditetapkan, serta melakukan inovasi dan refleksi berkelanjutan untuk menemukan formasi dan formulasi yang sesuai dengan konteks daerah masing-masing."

Untuk pemerintah pusat, ia merekomendasikan beberapa langkah, antara lain penguatan karakter untuk mengatasi potensi peningkatan perundungan, peningkatan kompetensi guru, dukungan terhadap upaya peningkatan kapasitas, pengembangan aplikasi pendaftaran PPDB yang andal dan akuntabel untuk mengintegrasikan data pendidikan dan kependudukan, serta pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan refleksi berkelanjutan.

Sementara itu, untuk Pemerintah Daerah, Syahrul merekomendasikan peningkatan kompetensi guru dengan peserta didik yang lebih beragam, peningkatan lingkungan belajar yang ramah untuk mengatasi perundungan, serta perlunya kolaborasi dalam pelaksanaan PPDB, peningkatan kapasitas, dan komunikasi publik serta sosialisasi untuk pemahaman mengenai PPDB dan filosofi setiap jalur.

Peneliti lain, Yuyun Libriyanti, juga menyampaikan pandangannya mengenai refleksi 2024 untuk masa depan pendidikan tanpa kekerasan. "Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa, namun kenyataannya kekerasan masih sering terjadi di tingkat pendidikan dasar dan menengah," ungkap Yuyun.

Berdasarkan data riset tahun 2024, terungkap bahwa terdapat banyak insiden kekerasan di berbagai institusi pendidikan. Hal ini mencakup perundungan, kekerasan fisik antar siswa, serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik.

Menurut informasi yang dikumpulkan oleh Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia (JPPI) per September 2024, tercatat 293 kasus kekerasan di sekolah. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual, yang mencapai 42 persen. Selanjutnya, perundungan menyumbang 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan yang mengandung kekerasan sebesar 6 persen.

Yuyun menjelaskan bahwa terdapat berbagai faktor yang saling berinteraksi dan dapat memperkuat perilaku kekerasan. Mekanisme tersebut meliputi pengamatan dan peniruan, pengalaman sosial yang membentuk habitus, serta pengaruh lingkungan yang membentuk perilaku individu.

Pemerintah telah berupaya untuk mencegah dan menangani perundungan, intoleransi, serta kekerasan di lingkungan pendidikan. Upaya ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman, yang ditandai dengan diterbitkannya Permendikbudristek Nomor 46 tahun 2023 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah dan Satuan Pendidikan (PPKSP).


Tag:



Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Komentar