Temuan mengenai ratusan siswa SMP di Buleleng, Bali, yang tidak mampu membaca dengan baik menjadi sinyal peringatan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia memerlukan perhatian serius. Dari total 34.062 siswa di Buleleng, terdapat 155 siswa yang tergolong tidak bisa membaca (TBM), sementara 208 siswa lainnya termasuk dalam kategori tidak lancar membaca (TLM). Fenomena ini diduga disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang dialami oleh para siswa. Dari segi internal, kurangnya motivasi, pembelajaran yang tidak tuntas, disleksia, disabilitas, serta minimnya dukungan dari keluarga diduga menjadi penyebab utama ketidakmampuan siswa dalam membaca dengan lancar. Sementara itu, faktor eksternal yang berkontribusi terhadap masalah ini meliputi dampak jangka panjang dari pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesenjangan literasi yang berasal dari jenjang SD, pemahaman yang keliru mengenai kurikulum, kekhawatiran para pendidik terhadap ancaman hukum dan stigma sosial, serta kondisi keluarga yang dapat mengganggu kesehatan psikologis siswa. "Contohnya, siswa yang mengalami trauma masa kecil akibat kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, atau kehilangan anggota keluarga, serta mereka yang menjadi korban perundungan," ungkap Plt Kepala Disdikpora Buleleng, Putu Ariadi Pribadi. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa temuan siswa yang tidak bisa membaca di Buleleng merupakan fenomena yang lebih luas, seperti gunung es. Ubaid menambahkan bahwa sebelumnya sudah ada banyak daerah lain yang juga mengalami masalah serupa dengan siswa yang tidak lancar membaca, termasuk di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). "Sayangnya, masalah ini tidak dianggap serius dan terkesan dibiarkan, sehingga kini fenomenanya semakin meluas," kata Ubaid kepada CNNIndonesia.com pada Selasa malam (15/4). Ubaid berpendapat bahwa fenomena ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan di Indonesia dalam memberikan dasar pendidikan yang penting, yaitu kemampuan membaca. Hal ini terlihat dari meningkatnya permintaan akan kursus dan bimbingan membaca di luar sekolah yang sangat diminati oleh masyarakat. "Lembaga-lembaga kursus ini memiliki banyak peminat. Mengapa hal ini terjadi? Jelas karena sekolah tidak berhasil mengajarkan anak-anak cara membaca," ungkapnya. "Seandainya di sekolah anak-anak diajarkan membaca dengan baik, mereka seharusnya cukup belajar di sekolah. Namun, mengapa orang tua justru berbondong-bondong mendaftarkan anak-anak mereka ke lembaga kursus? Ini adalah sebuah ironi," tambahnya. Ubaid juga menilai bahwa fenomena siswa SMP dan SMA yang tidak bisa membaca disebabkan oleh berbagai faktor dan tidak terlepas dari kegagalan kebijakan pendidikan di Indonesia. Salah satu penyebabnya, menurutnya, adalah ketidakstabilan kebijakan pendidikan yang selalu berubah setiap kali ada pergantian menteri. "Setiap kali menteri berganti, kebijakan pun ikut berubah. Ini adalah tradisi buruk yang harus dihentikan, jangan dilanjutkan. Terlebih lagi, perubahan tersebut tidak didasarkan pada evaluasi dan kajian yang berbasis data," jelasnya. Ia juga menyoroti bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai masalah yang dihadapi oleh para guru, mulai dari kesejahteraan hingga kualitas pengajaran. "Hal ini berdampak pada rendahnya kompetensi guru, baik dari segi profesionalisme maupun kemampuan pedagogis mereka," ujarnya. Lebih lanjut, Ubaid menilai bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi guru semakin diperburuk oleh ekosistem pendidikan di Indonesia yang bermasalah. Salah satu indikasi buruknya ekosistem pendidikan adalah kurangnya budaya membaca di sekolah. "Guru-guru terlalu sibuk dengan urusan administratif, sehingga minat baca mereka pun sangat rendah. Apalagi, minat baca siswa juga sangat memprihatinkan. Belum lagi, keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan sangat minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada," tuturnya. Ubaid menyatakan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah-langkah komprehensif untuk menangani masalah mendesak terkait kemampuan membaca. Langkah-langkah tersebut mencakup peningkatan kualitas guru, penyediaan dana untuk sekolah, serta perbaikan ekosistem pendidikan di Indonesia. "Kualitas guru harus ditingkatkan, semua harus memenuhi standar di atas rata-rata nasional," tegasnya. "Perlu ada ketersediaan dana untuk sekolah dan infrastruktur pendukung. Banyak anak yang tidak dapat bersekolah karena biaya pendidikan yang tinggi. Di sekolah negeri, sering terjadi pungutan liar, sementara di sekolah swasta biayanya sangat mahal. Hal ini sangat membebani orang tua," tambahnya. Di sisi lain, Ubaid juga menyoroti upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui penyediaan makanan bergizi gratis bagi anak-anak sekolah. Ia berpendapat bahwa perbaikan gizi bagi anak-anak sekolah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia harus didasarkan pada data yang akurat, bukan dilakukan secara sembarangan. "Jangan semua anak dari SD hingga SMA diberikan makanan. Banyak yang tidak membutuhkan dan akhirnya membuang makanan ke tempat sampah. Ini merupakan pemborosan anggaran. Daerah mana yang memiliki angka kecukupan gizi rendah, itulah yang harus dipenuhi, jangan semua daerah disamaratakan," ujarnya. Kebiasaan Membaca Buku di Indonesia Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Satriwan Salim, mengungkapkan bahwa masalah siswa yang tidak dapat membaca berkaitan erat dengan stagnasi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Ia menyoroti kurangnya rencana jangka panjang dalam pendidikan yang seharusnya disusun oleh pemerintah. "Ini merupakan hasil dari ketidakadaan peta jalan pendidikan yang jelas. Kita perlu memiliki rencana besar atau desain pendidikan untuk 20-30 tahun ke depan," jelasnya kepada CNNIndonesia.com pada Rabu (16/4). Di sisi lain, ia juga mengkritik inisiatif pemerintah yang memberikan makanan bergizi gratis sebagai solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang tertinggal. Menurutnya, perbaikan pendidikan di Indonesia tidak akan efektif tanpa adanya perubahan mendasar dalam sistem pendidikan yang ada saat ini. "Ini adalah masalah yang bersifat fundamental, tetapi kebijakan yang diambil justru hanya memberikan makanan bergizi gratis," tambahnya. "Seharusnya, kedua hal ini berjalan beriringan. Anak-anak diberi makanan, tetapi kualitas pembelajaran juga harus diperhatikan dan ditingkatkan. Selain itu, sekolah juga perlu dilengkapi dengan fasilitas yang memadai," tuturnya.
404
Siswa SMP Tidak Mampu Membaca: Cermin Buruknya Pendidikan di Indonesia
BP3OKP mengawasi pelaksanaan pendidikan gratis di Kota Sorong